Sejarah Kemunculan Golongan Syi’ah
Syi’ah dalam bahasa Arab berarti ”pengikut”, jadi Syi’ah Ali berarti pengikut Ali. Menurut asrti istilah, yang dimaksud dengan golongan Syi’ah adalah golongan yang beri’tiqad bahwa Sayyidina Ali ra adalah orang yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW, karena menurut mereka Rasulullah SAW telah berwasiat bahwa pengganti beliau sesudah wafat adalah Sayyidina Ali ra.
Pada dasarnya Syi’ah sebagai kaum pengikut Ali bin Abi Thalib sudah ada pada saat Rasulullah SAW masih hidup. Adapun konsep dasar pemikiran mereka berlandaskan pada saat turunnya ayat 7 surat albayyinah:”Sesungguhnya orang yang beriman dan beramal saleh.mereka adalah sebaik=baik penghuni bumi”. Sewaktu ayat ini turun Rasulullah meletakkan tangan suci beliau ke pundak Imam Ali seraya berkata:”Hai Ali, Engkau dan syiahmu adalah sebaik-baik penghuni bumi”.Pada saat peristiwa itu berlangsung banyak sahabat Rasul yang menyaksikannya. Dari hal itulah kaum pendukung Ali bin Abi Thalib yakin bahwa hanyalah Ali bin Abi Thalib yang pantas sebagai khalifah setelah Rasulullah SAW wafat.
Syi’ah adalah aliran politik tertua dalam islam. Sebagaimana telah kita sebutkan di muka mereka ini memunculkan mazhabnya pada masa khalifah Utsman, lalu tumbuh dan berkembang pada masa kekuasaan khilafah Ali bin Abi Thalib ra. Semakin mazhab ini banyak berkiprah dengan manusia, mereka bertambah kagum dengan kemampuannya, kekuatan agama dan ilmunya. Kekaguman ini mereka manfaatkan untuk menyebarkan pendapat-pendapat mereka baik yang ekstrem maupun yang agak moderat.
Ketika kezaliman terhadap anak cucu Ali memuncak dan banyaknya penyiksaan terhadap mereka, meluaplah rasa kecintaan kepada mereka, karena bagaimanapun mereka adalah anak keturunan Rasul. Apalagi orang-orang banyak melihat mereka menjadi tumbal-tumbal kezaliman. Dari sinilah pengaruh Syi’ah semakin meluas dan pendukungnya semakin banyak.
Syiah tidak berada pada derajat yang sama. Diantara mereka ada yang ekstrim dalam menyanjung Ali dan keluarganya, dan sebagian lagi moderat, dimana mereka hanya mengagung-agungkan Ali lebih dari para sahabat tanpa mengkafirkan seorangpun dari mereka dan tanpa mendudukan Ali pada tingkatan sakral yang lebih tinggi dari manusia biasa.
Syiah mulai menampakkan jati dirinya pada akhir masa kekhlifahan Utsman ra. Lalu tumbuh dan berkembang pada masa Ali ra, tanpa dia harus emngembangkannya. Perkembangannya lebih disebabkan oleh kehebatan dari kepribadian Ali. Maka sepeninggal beliau, pemikir-pemikir Syiah tumbuh menjadi beberapa aliraan, ada yang ekstrim dan ada pula yang moderat, yang keduanya memiliki ciri khas terhadap ahli bait nabi.
Maka pada masa pemerintahan Muawiyah merupakan masa kebangkitan bagi para ekstrim Syiah untuk mengangkat nama Ali. Karena Muawiyah ternyata menciptakan tradisi jelek pada masa kekuasaannya dan juga pada masa-masa anak turunnya. Hal itu baru berhenti pada masa Umar bin Abdul Aziz. Tradisi jelek itu adalah mengecam Imam Ali pada setiap bagian akhir khotbah. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari para sahabatg dengan cara senantiasa memperingatkan Muawiyah maupun anak turunnya agar tidak berbuat demikian. Orang-orang tahu tentang hal itu, tetapi mereka tidak mampu mengubah keadaan. Mereka menyimpan kemarahan, dendam dan derita. Mereka cenderung untuk berlaku ekstrim kepada Bani Umayyah yang memusuhi mereka.
Syiah mulai tumbuh di Mesir pada masa Utsman, yaitu ketika para da’inya mendapatkan tempat basah di sana. Dan berkembang di seluruh Iran, bahkan tempat itu menjadi basis penyebaran Syiah. Jika Mekkah, Madinah dan seluruh kota-kota di Hijaz merupakan pusatbagi para pendukung Bani Ummayah, maka Iran adalah basis bagi aktivis orang-orang Syiah.
Mengapa Iran menjadi basisi bagi Syiah? Ada beberapa faktor, diantaranya adalah karena Ali bin Abi Thalib bermukim di sana selama menjabat sebagai khalifah. Di sinilah Ali berjumpa dengan orang-orang yan melihat pada diri Ali sesuatu yang patut disanjung. Dan sikap mereka yang sama sekali enggan mendukung Bani Ummayah, maka segeralah Muawiyah mengutus Ziyad, saudaranya untuk memerangi dan berusaha mengikis habis. Meskipun demikian, ternyata akar-akarpaham Syiah tidak lenyap begitu saja dari diri mereka. Sepeninggal Ziyad, maka putranyalah penerus tugas untuk menguasai Irak pada masa Yazid bin Muawiyah. Irak akhirnya menjadi pusat perlawanan pertama terhadap Bani Ummayah. Sampai hal itu bisa diatasi paa masa Bani Umayyah mengutus Hajaj untuk membereskan mereka. Maka tekanan dan intimidasi itu semakin gencar. Namun, semakin gencar intimidasi yang dilakukan, mazhab Syiah semakin eksis dalam jiwa pengikutnya.
Disamping faktor di atas, Iran juga merupakan tempat pertemuan bagi kebudayaan-kebudayaan lama. Disana terdapat kebudayaan Peersia. Kildania (Iran) dan kebudayaan negeri-negeri lain. Di sanalah bercampur antara filsafat Yunani dan pemiran-pemikiran Hindu. Berbagai peradapan dan pemikiran ini menyatu di Iran. Inilah yang menyebabkan tumbuhnya aliran dalam Islam. Khususnya yang berkaitan dengan masalah filsafat. Oleh karena itu aliran Syiah banyak bercampur dengan berbagai pemikiran filsafat, karena memang sesuai dengan lingkungan pola berpikir di Iran saat itu.
Lebih dari itu, Iran merupakan pusat studi Ilmiah. Pendukungnya banyak yang intelek.
Aliran-Aliran dalam Syi’ah
As-Sabaiyah
Mereka adalah pengikut Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang menampakkan keslamannya dari keluarga Al-Khira. Ibunya adalah sorang budak kulit hitam. Oleh karena itu, Abdullah biasa dipanggil dengan sebutan ”Anak seorang wanita hitam”. Dialah orang yang paling memusuhi Utsman ra. dan para gubernurnya.
Secara bertahap Abdullah bin Saba’ menyebarkan pemikiran-pemikiran dan kebohongan-kebohongan di tengah-tengah kaum Muslimin. Yang menjadi tema sentralnya adalah Ali bin Abi Thalib. Abdullah menyebarkan suatu pendapat, bahwa di dalam kita Tuarat, setiap nabi itu mempunyai pewaris, dan Ali adalah pewaris Nabi Muhammad saw. Setelah Ali terbunuh, Ibnu Saba’ memanfaatkan kecintaan manusia kepada Ali serta kepedihan mereka atas tragedi pembunuhan tersebut. Maka Abdullah bin Saba’ meneberkan cerita-cerita bohong bahwa sebenarnya yang terbunuh bukan Ali melainkan syetan yang menjelma sebagai Ali. Ali sebenarnya naik ke langit sebagaimana Isa bin Maryam nak ke sana, Ia mengatakan sebagaimana Yahudi dan Nasrani telah berdusta mereka mengatakan membunuh Isa, demikian juga kaum Khawarij telah berdusta membunuh Ali. Orang-orang Yahudi dan nasrani melihat seorang yang disalib ditu menyerupai Isa, sedangkan orang-orang Khawarij melihat bahwa orang yang tewas terbunuh itu menyerupai Ali. Padahal Ali sendiri sebenarnya naik ke langit. Abdullah bin Saba’ juga meyebarkan isu bahwa Tuhan merasuk pada tubuh Ali, sehingga dianggap sebagai jelmaan Tuhan
Al-Ghurabiyah
Kelompok ini termasuk kelompok ekstrimis Syiah. Kelompok ini tidak menuhankan Ali seperti As-Sabaiyah, hanya saja kelompok ini mendudukan Ali di atas Nabi Muhammad SAW. Menurut mereka, risalah Islam sebenarnya diturunkan kepada Ali, tetapi Jibril salah menurunkannya, sehngga risalah Islam diberikan kepada Nabi Muhammad saw. Mereka disebut Al-Ghurabiyah karena mengatakan bahwa Ali mirip dengan Nabi Muhammad saw, seperti halnya burung gagak (ghurab) yang satu sama dengan burung gagak yang lain.
Al-Kaisaniyah
Mereka adalah pengikut Al-Muktamar bin Ubaid Ats-Tsaqofi. Al-Mukhtar pada mulanya adalah seorang Khawarij, kemudian menjadi Syiah yang mendukung Ali. Nama Al-Kaisaniyah dinisbatkan kepada kaisan. Ada yang mengatakan bahwa Kaisan adalah nama asli Al-Mukhtar. Ada pula yang mengatakan, bahwa Kaisan adalah nama seorang hamba Ali bin Abi Thalib, atau seorang murid dari putra Ali, Muhammad Al-Hanafiyah.
Aqidah Al-Kaisaniyah tidak berdasarkan atas peuhanan terhadapp para imam dari Ahli Bait seperti keyakinan Al-Sabaiyah. Tetapi aqidahnya berdiri atas dasar bahwa imamnya adalah seorang pribadi suci yang harus mereka taati, mereka akui keilmuannya dan mereka percayai akan kemaksumannya, karena imam adalah merupakan rumus bagi ketuhanan. Mereka seperti Al-Sabaiyah berkeyakinan akan kembalinya Muhammad bin al Hanafiyah, yaitu sorang imam yang datang setelah Ali.
Al-Kaisaniyah mempunyai keyakinan tentang Bada’ yaitu suatu keyakinan bahwa Allah merubah sesuatu yang dikehendaki sesuai dengan kenyataan perubahan ilmu-Nya. Mereka juga mempercayai akan adanay reinkarnasi ruh, yaitu suatu keperdcayaan bahwa ruh itu keluar dari satu tubuh dan masuk ke dalam tubuh yang lain. Kepercayaan ini sebenarnya diambil dari filsafat india, dimana mereka juga mengatakan hal serupa, yaitu bahwa ruh itu bisa jadi disiksa dengan cara memindahkan ke dalam tubuh hewan yang lebih rendah derajatnya, dan bisa jadi diberi pahala dengan memindahkannya ke dalam tubuh yang lebih tinggi derajatnya. Mereka aliran Al-Kaisaniyah, tidak mengambil seluruh apa yang ada dalam filsafat India, tetapi hanya mengambil apa yang ada hubungannya dengan kedudukan para Imam.
Al-Zaidiyah
Kelompok ini adalah kelompok Syiah paling dekat dengan moderat kepada jamaah Islam. Kelompok ini tidak menyanjung seorang imam setingkat nabi bahkan tidak mendekatkan kepada tingkat itu. Tetapi berkeyakinan bahwa para imam itu adalah seperti halnya manusia yang lain, hanya saja mereka adalah manusia yang paling utama sesudah Nabi. Mereka sama sekali tidak mengkafirkan sahabat Nabi, terutama para sahabat yang telah dibai’at oleh Ali dan yang telah diakui kepemimpinan mereka. Aliran Zaidiyah menolak pernyataan bahwa imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah itu telah disebut nama dan orangnya. Sebenarnya wasiat Rasulullah itu telah disebut nama dan orangnya. Sebenarnya wasiat Rasulullah itu hanyalan berupa ciri-cirinya saja. Dari ciri-ciri itu maka diketahui bahwa ternyata Ali lah yang patut menjadi imam setelah Rasulullah, karena ciri itu tidak terdapat pada orang lain. Ciri-ciri tersebut adalah mengharuskan bahwa seorang imam itu berasal dari Bani Hisyam, Shaleh, taqwa, alim, dermawan, dan hanyakeluar untuk berdakwah. Kemudian setelah sepeninggal Ali, maka syarat seorang imam haruslah dari keturunan Fatimah binti Rasulullah.
Al-Imamiyah
Aliran ini yakin imam-imam yang melanjutkan setelah sepeninggal Nabi Muahammad saw. Keyakinan Imammiyah adalah bahwa Allah mempunyai hukum untuk setiap peristiwa, seluruh perbuatan mukallafin tidak pernah lepas dari hukum Islam yang lima, yaitu : wajib, haram, makruh, mandub, sunnah. Allah telah menitipkan hukum-hukum ini kepada Nabi-Nya melalui wahyu dan ilham, yang kemudian diterangkan kepada para sahabatnya untuk disampaikan kepada pengikutnya agar menjadi mubaligh di seluruh penjuru dunia, agar kalian menjadi saksi atas manusia dan rasul menjadi saksi atas kalian. Aliran ini menetapkan bahwa ishmah seorang itu lahir dan batin, sejak sebelum diangkat menjadi imam sampai ketika menjadi imam. Aliran ini meyakini akan adanya keluarbiasaan pada diri seorang imam guna menguatkan dan mendukung keimanannya. Keluarbiasaan itu sama halnya dengan para nabi.
Al-Imamiyah AL-Ismailiyah
Kelompok ini tersebar di berbagai negara yang terpancar di dalam islam, diantaranya ada yang di negeri Syam, India, Pakistan, dan lain-lain. Aliran ini dinisbatkan kepada Ismail bin Ja’far al-Shadiq. Aliran ini berpendapat bahwa penetapan ismail sebagai imam setelah ayahnya adalah merupakan nash dari ayahnya.
Al-Hakimiyah dan Drouze
Sebagian pemikiran al-Bhatiniyah di atas tidak bisa kita anggap sebagai kekafiran yang nyata, lebih tepat jika kita katakan bahwa al-Bhatiniyah tidak bersumber pada kitab dan Sunnah. Namun merupakan aliran yang masih belum keluar dari kelompok terbesar mereka meskipun sebagian yang lain sudah banyak yang meninggalkan aliran ini. Sikap ketertutupan yang dianggap sebagai cara kelompok ini, mengakibatkan timbulnya berbagai golonghan diantaranya adaalh al-Hakimiyah, yaitu suatu kelomok yang dianggap ekstrim yang melampaui batas-batas islam. Mereka berlebih-lebihan dalam memahami al-Isyraq al-Ilahi, sehingga dari situlah timbul teori hulul ilahi dalam diri seorang imam yang mendorong kepada penyembahannya. Orang utama dalam golongan ekstrim ini adalah al-Hakim bin Amirillah al-Fathimi yhang telah mengaku bahwa Tuhan telah menyatu dalam dirinya lalu mengajak menusia untuk menyembahnya. Aliran Drauze yang mayoritas terdapat di Syam, Libanon, Syiria, Palestina mempunyai hubungan erat dengan al-Hakimiyah dan memiliki aqidah yang hampir sama.
An-Nushairiyah
Aliran ini berkeyakinan bahwa ahlul bait diberi wewnang yang mutlak. Ali bin Abi Thalib beluim mati, dia adalah tuhan atau dekat dengan menyerupai Tuhan. Mereka sependapat dengan al-Bhatiniyah bahwa syariat itu mempunyai lahir dan batin. Yang akhir untuk sekalian manusia, sedang batin khusus terbentuk nur yang menyebabkan mereka mengerti hakekat syariat yang bathin.
Golongan ini melepaskan diri dari islam, membuang nilai-nilai dan yang tertinggal adalah namanya saja. Pengaruh mereka meluas pada zaman daulat al-Fatimiyah di Mesir dan Syam. Kemunculan seorang pemimpin mereka, al-Hasan bin al-Shabah di Persia pada masa al-Abbasiyah saat mana al-Hakim mengaku sebagai tuhan.
Al-Hasan bin al-Shabah menyebarkan da’inya untuk menyeru kepada sektenya di Syam, sehingga disana jumlah pengikutnya bertambah banyak dengan gunung al-Siman, yang sekarang terkenal dengan bukit al-Nushairi, sebagai pusat kegiatan mereka. Sebagian tokoh sekte ini menarik dan melemahkan hati para pengikutnya supaya mencintai sektenya dengan menggunakan sejenis tumbuhan yang memabukkan yakni ganja. Oleh karena itu, dalam sejarah, mereka disebut al-Hasyasyin. Pada saan tentara salib menyerang kaum muslimin. Maka ketika mereka berhasil menduduki negeri-negeri Islam, mereka mendekati penduduknya lalu mematuhi tempat-tempat khusus bagi mereka.
Ajaran-Ajaran dan Paham Golongan Syi’ah
Adapun ajaran-ajaran dan pemahaman golongan Syi’ah secara umum adalah sebagai berikut:
>>Sayyidina Ali tidak mati terbunuh, tetapi masih hidup, karena sewaktu akan dibunuh, beliau diangkat ke langit seperti kisah Nabi Isa as, sedang yang mati terbunuh adalah orang yang diserupakan dengan Sayyidina Ali ra.
>>Dalam tubuh Sayyidina Ali bersemayam unsure ke-Tuhan-an yang telah bersatu padu dengan tubuh Sayyidina Ali ra. Karena itu beliau mengetahui segala yang ghaib, dan selalu menang melawan dengan orang kafir. Suara petir adalah suara Sayyidina Ali dan kilat adalah senyuman Sayyidina Ali.
>>Teori reinkarnasi, yaitu bahwa ruh orang yang meninggal dunia itu dapat menitis kembali dalam jasad yang baru.
>>Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan adalah orang-orang yang terkutuk, karena ketiganya telah merampas jabatan ke-khalifahan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Menurut mereka, orang yang berhak menjadi imam (khalifah) yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib.
>>Iman atau khalifah itu masih menerima wahyu dan juga ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa). Ini berlandaskan pada riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam
>>Percaya pada “ar-raj’ah”, yaitu bahwa salah seorang imam (khalifah)-nya (Ali bin Abi Thalib) akan kembali ke dunia di akhir jaman untuk menegakkan keadilan. Mereka menyamakan iman dengan nabi.
>>Percaya kepada Imam adalah salah satu rukun iman.
>>Mereka hanya menerima hadist-hadist yang ada pada kitab Al-Kafi, karangan ulama Syi’ah yang bernama Al-kulini dan menolak hadist-hadist yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman, apalagi hadist-hadist yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat Nabi dari suku Bani Umayyah. Kitab Al-Kulini ini oleh merka dianggap sebagai kitab yang kedua sesudah Al-Qur’an.
>>Sebagian dari golongan Syi’ah menganut paham “wahdatul wujud” yang diajarkan oleh salah seorang ahli tasawuf pemuka Syi’ah imamiyah bernama Husein bin Mansur Al Hallaj. Menurut pahamnya, apa yang ada ini pada hakekatnya adalah Tuhan karena Tuhan telah mewujudkan dirinya dalam tubuh apa saja yang ada di alam ini. Jadi, baginya alam ini juga Tuhan dan Tuhan juga alam.
>>Islam belum cukup ketika Nabi Muhammad SAW, karena masih ada wahyu-wahyu Ilahi kepada Imam-Imam Syi’ah.
>>Menghalalkan “nikah mut’ah”, yaitu perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.
Ada 6 perbedaan prinsip antara nikah mut’ah dan nikah sunni (syar’i):
*Nikah mut’ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
*Nikah mut’ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
*Nikah mut’ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
*Nikah mut’ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang.
*Nikah mut’ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
*Nikah mut’ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.
Izin Kopas ke fb
BalasHapussilahkan gan
BalasHapus