A. Teori Konflik Dahrendorf
Menurut Dahrendorf,
konflik dibedakan menjadi beberapa macam :
- Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
- Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
- Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
- Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara.
- Konflik antar atau tidk antar agama
- Konflik antar politik
Dahrendorf juga menyebutkan teori konflik atau
teori koerasi (paksaan) dapat didefinisikan sebagai berikut:
- Tiap-tiap masyarakat disegala bidangnya mengalami proses-proses perubahan.
- Tiap-tiap masyarakat memperlihatkan perbantahan (dissenssus) dan konflik disegala bidangnya.
- Tidak semua orang sepaham dan sama setuju, selalu ada yang pro dan kontra. Dari banyaknya perselisihan yang sering dialami atau dirasa sebagai ancaman terhadap kesatuan masyarakat.
- Tiap-tiap unsur didalam masyarakat menyumbang kepada disintegrasi dan perubahannya.
- Tiap-tiap masyarakat berdiri atas dasar paksaan yang dikenakan oleh segelintir anggota atas sesama anggota lain.
Menurut Dahrendorf konflik berfungsi sebagai pengintegrasian
masyarakat dan sebagai sumber perubahan. Selain itu, konflik berfungsi untuk
menghilangkan unsur- unsur pengganggu dalam suatu hubungan. Dalam hal ini
konflik sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang bertentangan,
yang mempunyai fungsi stabilisator dan menjadi komponen untuk mempererat
hubungan. Konflik juga berfungsi sebagai unsur pengikat di antara
kelompok-kelompok yang sebetulnya tidak berhubungan.
B. Teori Konflik
Duferger
Duverger berpendapat bahwa setiap fenomena politik memiliki aspek
konflik dan integrasi. Kekuasaan merupakan salah satu fenomena politik yang
penting. Kekuasaan merupakan sumber daya langka yang menjadi penyebab konflik.
Orang yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk mempertahankan kekuasaan. Di
samping itu, ada pihak lain yang menentang kekuasaan dan ingin merebut
kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Kekuasaan mempunyai aspek integrasi dalam
arti bahwa kekuasaan dipergunakan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan;
sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteran umum melawan tindakan berbagai
kelompok kepentingan.
Duverger mengajukan penyebab konflik bertolak dari sudut pandang
pelaku konflik. Menurut Duverger penyebab antagonisme politik (konflik politik)
meliputi sebab-sebab individual dan sebab- sebab kolektif. Sebab-sebab
individual menurut Duverger, karena terdapat perbedaan bakat individual di
antara manusia.
Duverger juga mengatakan konflik dan integrasi bukan dua aspek yang
kontradiktif di dalam politik, mereka juga saling melengkapi satu sama lain.
Antagonisme menghasilkan konflik, akan tetapi, dalam kesempatan tertentu, juga
menolong membatasi konflik dan meningkatkan integrasi. Berbicara secara umum,
integrasi dalam hal-hal tertentu muncul sebagai akibat terakhir dari antoganisme
politik, dan paham integrasi memainkan peranan penting justru di dalam
perkembangan konflik.
C. Teori Maslow
Kebutuhan pada
manusia sebagai motivator membentuk suatu hierarki yang terdiri atas
physiological needs, safety needs, belongingness and love needs, esteem needs,
dan self actualization needs. Menurut Maslow, kebutuhan dasar harus lebih
dahulu terpenuhi sebelum bweranjak pada kebutuhan psikologis.
Individu sebagai
kesatuan terpadu. Maslow menekankan bahwa individu merupakan kesatuan yang terpadu
dan terorganisasi. Maslow memberikan contoh: yang membutuhkan makanan bukanlah
perut John Smith semata-mata, melainkan seluruh individu John Smith sebagai
kesatuan. Dengan kata lain, makanan akan memuaskan rasa lapar John Smith, dan
bukan rasa lapar pada perut John Smith.
Maslow
mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia
menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat
yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi,
orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut.
Menurut Maslow,
semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis) mempunyai
kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai
dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga
diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan
penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup
kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan,
prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua
(eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan,
penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik.
Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian
ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan
menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta
perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini
adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat
perwujudan diri.
D. Teori Geertz
Geertz
mendefinisikan budaya (‘culture’) sebagai “pola makna yang diterima secara
historis, melekat pada lambang-lambang, sebuah sistem konsep-konsep yang
diwariskan, terungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dipakai manusia
untuk berkomunikasi, melanggengkan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap
hidup mereka.” Jadi budaya bagi Geertz adalah sistem makna.
Geertz
juga mendefinisikan agama adalah sistem simbol yang membentuk perasaan dan
keinginan-keinginan dalam diri manusia, konsepsi tentang tata eksistensi yang
beraura nyata sehingga perasaan-perasaan itu tampak realistik.
0 comments:
Posting Komentar