Islamisasi Sains Dan Tanggung Jawab Ilmuan Muslim Modern

Pengertian Ilmu Pengetahuan (Sains) dan islamisasi
Kata ilmu pengetahuan atau sains dalam bahasa Indonesia mempunyai beberapa padanan kata dalam bahasa asing antara lain: science (dalam bahasa Inggris), wissenschaft (Jerman) atau wetwnschap (Belanda). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian sciense- tanpa adanya keterangan lebih lanjut- adalah natural science atau ilmu-ilmu kealaman. Natural science merupakan ilmu-ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena alam semesta dengan segala isinya. Yang termasuk ke dalam natural science (selanjutnya disebut science) adalah ilmu-ilmu dasar (basic sciences), disebut pula sebagai ilmu-ilmu murni (pure sciences), seperti biologi, kimia, fisika, dan astronomi, dengan segala cabangnya.
Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab: ilm yang merupakan kata jadian dari alima yang berarti tahu atau mengetahui. Raharjo mencatat pendapat orientalis Franz Rosethal, bahwa akar kata a-l-m dalam bahasa Arab tidak mempunyai persamaan dengan akar bahasa Semitik lainnya, walaupun bahasa Arab termasuk ke dalam rumpum bahasa Semitik. Akar kata a-l-m dalam bahasa Semitik mempunyai arti tanda (ayat). Ini menimbulkan kesan bahwa terdapat kaitan antara tahu dengan tanda dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, kata ilm dalam bahasa Arab dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang tanda (ayat) atau mengetahui ayat. Yang dimaksud dengan tanda atau ayat dalam konteks ilmu pengetahuan adalah fenomena –fenomena alam dengan segala isinya.

Islamisasi Sains
Di dalam konsep Islam manusia dituntut untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan menghindarkan diri dari mencari ilmu yang tidak bermanfaat. Ukuran kemanfaatan terletak sejauhmana suatu ilmu mendekatkan diri kepad kebenaran Allah dan sejauhmana ia tidak bersifat merusak kehidupan manusia itu sendiri secara luas. Naquib Al-Attas menulis bahwa: ilmu bersifat tidak terbatas karena objek ilmu memang tidak ada batasnya. Tetapi, ada suatu batas kebenaran dalam setiap objek ilmu, sehingga pencarian ilmu yang benar bukanlah suatu pencarian yang tanpa akhir. Jika pencarian ilmu adalah tanpa akhir, maka mencapai ilmu dalam rentang masa yang memiliki awal dan akhir menjadi mustahil, dan ini juga akan membuat ilmu itu sendiri menjadi tidak bermakna. Ilmu mengenai kebenaran-kebenaran dunia lahiriah memang dapat dicapai dan bertambah melalui penelitian yang dilakukan oleh beberapa generasi umat manusia. Tetapi ilmu yang benar, ilmu sejati, harus mempunyai pengaruh langsung terhadap individu manusia karena ini menyangkut identitas dan nasibnya, dan manusia tidak dapat memikul akibat penundaan keputusan yang menyangkut kebenaran ilmu itu, karena ia bukanlah sesuatu yang dapat ditunda dengan harapan generasi-generasi yang akan datang akan dapat menemukannya. Itulah sebabnya krisis kebenaran yang terjadi pada setiap generasi adalah yang menyangkut ilmu sejati ini, dan barangkali krisis kebenaran belum pernah terjadi separah pada zaman kita sekarang ini.
Sebenarnya, adakah sains Islam? Dan perlukah Islamisasi sains? Untuk menjawabnya, kita kembali mengkaji lebih dalam lima ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah s. a. w. dan kita fahami prinsip dasar sains.

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5).

Dalam makna yang umum, lima ayat yang turun pertama kali ini tentunya bukan hanya perintah kepada Rasulullah s. a. w. untuk membaca ayat-ayat qur'aniyah. Terkandung di dalamnya makna untuk membaca ayat-ayat kauniyah yang terdapat di alam. Allah memberikan kemampuan kepada manusia untuk itu.

Tanggung Jawab Ilmuan Muslim Modern
Bila kita membicarakan tanggungjawab, kita harus merujuk kerangka etika tertentu.  Pada bahagian ini, tentu saja harus mensasarkan kepada sumber-sumber nilai Islam, untuk menentukan apa saja kewajipan intelektual Islam, bagaimana akhlaknya dalam melaksanakan kewajibannya, dan metode apa saja yang sesuai dengan kedudukannya sebagai intelektual.  Al-Quran menggunakan istilah ulul-albab untuk intelektual Muslim.  Kata ulul-albab disebut sebanyak enam belas kali dalam Al-Quran.  Di sini kami hanya akan mengambil sifat-sifat ulul-albab yang terdapat di dalam Surat ar-Ra’d, ayat 20-24:
“Orang-orang yang menepati janji Allah, dan mereka tidak memungkiri janji.  Dan orang-orang yang memperhubungkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk untuk diperhubungkan, dan mereka takut kepara Tuhan mereka, dan takut akan perhitungan yang keras.  Orang-orang yang sabar, kerana mengharapkan keredhaan Tuhan mereka, mendirikan solat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, bagi mereka adalah akibat (yang baik) di kampong (akhirat), (iaitu) syurga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang soleh di antara bapa-bapa mereka, isteri-isteri mereka dan anak-anak mereka, sedang malaikat masuk kepada mereka dari tiap-tiap pintu.  (Lalu mengucapkan): Salam atas kamu, kerana kamu telah sabar, maka sebaik-baiknyalah akibat di kampung itu (syurga).”
Al-Quran menyebut dua kewajiban intelektual Muslim:  memenuhi janji Allah dan menyambungkan apa yang Allah perintahkan untuk menyambungkannya.  Perjanjian Allah ini disebut sebagai mitsaq.  Dr. Muhammad Mahmud Hijazi mendefinisikannya sebagai “apa yang mengikat diri mereka dalam hubungan antara mereka dengan Tuhan mereka, antara mereka dengan diri mereka, dan antara mereka dengan manusia yang lain.”   Seorang intelektual harus memilih commitment-nya, keterikatan pada nilai-nilai; seorang intelektual Muslim ialah ia yang memilih untuk committed dengan nilai-nilai Islam.  Memenuhi mitsaq bererti tetap setia pada commitment  yang telah dipilihnya.

2 komentar: